Suluk Thariqah Asy-Syadzily

Suluk Thariqah Asy-Syadzily

Jumat, 19 November 2010

Menelusur Sejarah, Silsilah Ummu Hajjah Siti Fatimah Medan



I. Trah Silsilah Kedua orang-tua Neneknda Ummu Hajjah Siti Fatimah

Kemudian, disebutkan bahwa Neneknda, Ummu Hajjah Syarifah Siti Fatimah lahir di Kota Medan pada tanggal 31 Desember 1909 dan wafat pada hari Rabu tanggal 12 Mei 2004 pada pukul 17.00 WIB. di kediaman Beliau, Jl. Tanggok Bongkar Perum. Mandala Medan, Sumatera Utara. Semasa hidupnya selain mengajar ilmu agama di Zawiyah Majlis Ta’lim di kota Medan, dalam kesehariannya, Beliau juga membuka Toko Perhiasan Emas serta Butik Kain Songket khas Melayu yang berada di pusat kota Medan. Maka tak heran jika putra-putrinya pun menjadi sarjana.

Kemudian, bahwa orang-tua Neneknda Syarifah Mandala Medan juga disebutkan berasal dari tlatah Surakarta, atau wilayah Solo kini. Hal tersebut, terbukti dengan perjalanan Neneknda berziarah ke Makam Kerabat Raja Kartasura di kota Solo. Juga, disebutkan jika Neneknda juga punya leluhur di Kasepuhan Cirebon dari jalur Ayahanda Beliau, yakni Kyai Haji Prawiro Semito [Maulana Abdullah] bin Kyai Haji Ahmad Djoyo Semito.

Di kisahkan dahulunya, bahwa Raden Mas Wiro Semito mengikuti ayahnya, yakni Kyai Joyo Semito pernah mengabdi diri di bidang kemiliteran pada Kasunanan Kartasura, dan dalam penugasannya melawan pendudukan tentara Belanda di tanah Jawa. Setelah selesai penugasan, Raden Mas Wiro Semito hijrah ke Sumatera dan bermukim di kota Medan hingga akhir hayatnya. Sementara Kyai Haji Ahmad Djoyo Semito syahid dalam peperangan dan dipusarakan di Pemakaman Kerabat Kraton Surakarta di kota Solo, Jawa Tengah. Sementara, Syaikh Maulana Ahmad Semaitha dikenal sebagai salah satu Musyarif di negeri Malaka, tepatnya di Negeri Sembilan Malaysia kini.

Kemudian daripada sanad Ibunda Beliau, yakni Ummu Siti Hasanah yang berganti nama samaran menjadi Siti Asnah dalam pelarian dari Jawa ke Sumatera. Dan bila ditelusur sanad silsilahnya bersambung nasab hingga Ummu Siti Asnah binti Haji Abdullah, yang bersanad pada Haji Yusuf Haji Ahmad ibni Panembahan Mohammad Ibrahim, bersambung pada Panembahan Mohammad Abdullah ibni Panembahan Girilaya, bersambung pada Panembahan Cirebon Mohammad Yusuf ibni Kanjeng Panembahan Ratu Cirebon, bersambung pada Panembahan Sendang Kemuning ibni Panembahan Pasareyan Maulana Muhammad Tajul Arifin bin Syaikh Maulana Syarif Hidayatullah, atau Sunan Gunung Jati di Cirebon.

Namun seribu sayang, bahwa Kitab Manakib dan catatan asli Silsilah tersebut aslinya hilang semasa terjadi perang Jawa? Meski demikian, Alhamdulillah dari beberapa penelusuran dalam lingkungan keluarga Medan, akhirnya sanad silsilah Nenek kami terketemukan juga, sebagaimana akan disajikan berikut ini.

1.1. Trah Kyai Haji Prawiro Semito, Ramanda Neneknda Ummu Hajjah Siti Fatimah Medan

Silsilah Nenek Medan, atau Ummu Hajjah Siti Fatimah, putri dari pasangan Kanjeng Kyai Haji Prawiro Semito dan Kanjeng Nyai Hajjah Siti Hasnah Maimunah dari garis keturunan Ayahanda dari Ibunda Nenek Ummu Hajjah Siti Fatimah, yakni sebagai berikut :

Nenek Ummu Hajjah Siti Fatimah binti Kanjeng Kyai Haji Prawiro Semito bin Kanjeng Kyai Haji Ahmad Djoyo Semito bin Kanjeng Raden Mas Prawiro Djoyo bin  Kanjeng Raden Mas Prawiro Taruno bin Kanjeng Raden Mas Bagus Hadi Prawiro bin  Kanjeng Raden Mas Bagus Kerto Djuru bin Kanjeng Raden Mas Bagus Bono bin  Kanjeng Raden Ngabehi Djogo Sworo bin Kyai Ageng Wono Djoyo bin  Kanjeng Raden Mas Bagus Brata Kelono bin Kyai Ageng Wono Segoro-III bin  Kyai Ageng Wono Segoro-II bin Kyai Ageng Wono Segoro-I bin  Kyai Ageng Wonotoro bin  Kyai Ageng Giring bin Kanjeng Panembahan Ageng Jabal Konil bin Kanjeng Sunan Panggung Raden Wali Joko bin Kanjeng Raden Gugur bin Kanjeng Sunan Lawu Prabu Brawijaya-V ing Majapahit bin Abdillah.

Kanjeng Panembahan Ageng Jabal Konil merupakan salah satu putra dari pasangan Kanjeng Sunan Panggung Raden Wali Joko bin Kanjeng Raden Gugur bin Sunan Lawu Prabu Brawijaya-V ing Majapahit dengan Dewi Mintosih, putri Kanjeng Panembahan Lawu. Kanjeng Panembahan Lawu sendiri berdasarkan kisahnya, disebutkan beliau adalah seorang pertapa yang menjadi pelindung Kanjeng Prabu Brawijaya-V pada saat bersama keluarganya mengungsi dari Kraton Majapahit ke Gunung Lawu akibat serangan Laskar Demak Bintoro yang dipimpin oleh Raden Patah atau Senopati Jimbun putra tiri Prabu Brawijaya V sendiri.

Dengan dukungan Wali Songo beserta laskar santrinya, maka Kraton Majapahit berhasil dihancur-leburkan oleh laskar Raden Patah yang dikemudian hari menjadi Sulthan ing Kasulthanan Demak Bintoro.

1.2. Trah Ummu Hajjah Siti Maimunah, ibunda,Neneknda Ummu Hajjah Siti Fatimah Medan

Silsilah Nenek Medan, atau Ummu Hajjah Siti Fatimah, putri dari pasangan Kanjeng Kyai Haji Prawiro Semito dan Kanjeng Nyai Hajjah Siti Maimunah dari garis keturunan Ayahanda dari Ibunda Nenek Ummu Hajjah Siti Fatimah, yakni sebagai berikut :

Nenek Ummu Hajjah Siti Fatimah binti Nenek Uyut Ummu Hajjah Siti Hasnah Maimunah binti Kanjeng Kyai Haji Muhammad Nurbuat bin Kanjeng Kyai Haji Maulana Zulkarnain bin Kanjeng Pangeran Haji Abdul Komaruddin bin Kanjeng Pangeran Haji Maulana Shaleh bin Kanjeng Sulthan Muhammad Abu Imamuddin ing Kanoman-V bin Kanjeng Sulthan Muhammad Khairuddin ing Kanoman-IV bin Kanjeng Sulthan Muhammad Alimuddin ing Kanoman-III bin Kanjeng Pangeran Raja Adipati Sulaiman ing Keprabonan bin Kanjeng Pangeran Maulana Syamsuddin ing Kasepuhan bin Kanjeng Panembahan Ratu Pakungwati-II bin Kanjeng Pangeran Sendang Gayam bin Kanjeng Pangeran Emas Zainul Arifin bin Kanjeng Pangeran Sendang Kemuning [sedha ing warsa 1590 M] bin Kanjeng Pangeran Pasarean ing Cirebon [sedha ing warsa 1550 M] bin Kanjeng Syaikh Maulana Syarif Madhkur Hidayatullah, atau Kanjeng Sunan Gunung Jati [mijil ing warsa 1448, sedha ing warsa 1568] bin Abdillah.

Pangeran Emas Zainul Arifin adalah salah satu putra dari pasangan Kanjeng Pangeran Sendang Kemuning [sedha ing warsa 1590 M] dan Gusti Ratu Ayu Siti Hasnah. Kemudian meneruskan silsilah dari Kanjeng Pangeran Sendang Kemuning, bahwa beliau adalah salah satu putra dari Kanjeng Pangeran Pasarean ing Cirebon [sedha ing warsa 1550 M] merupakan putra kedua dari pasangan Kanjeng Syaikh Maulana Syarif Madhkur Hidayatullah [mijil ing warsa 1448, sedha ing warsa 1568 M], atau lazim disebut sebagai Kanjeng Sunan Gunung Jati yang menikah dengan Kanjeng Gusti Putri Tepa Sari ing Gunung Sembung Cirebon.

Kakak dari Pangeran Sendang Kemuning bernama Kanjeng Gusti Ratu Ayu. Keturunan dari Kanjeng Pangeran Sendang Kemuning dan Kanjeng Gusti Ratu Ayu tersebut di kemudian hari melahirkan garis trah keturunanan Kasulthanan Cirebon, baik yang berada didalam maupun yang telah hijrah keluar lingkungan Kraton oleh sebab-sebab tertentu, misalnya karena menempuh ilmu agama, menjadi utusan Kraton, menjadi seorang sufi, menikah dengan bangsawan dari luar lingkungan Kraton, dan sebagainya.

Berdasarkan catatan nasab Trah keluarga, disebutkan bahwa Kanjeng Syaikh Maulana Syarif Hidayatullah mempunyai beberapa istri, antara lain :
1]Kanjeng Gusti Putri Tepa Sari
2]Kanjeng Putri Syarifah Baghdad
3]Kanjeng Putri Kawunganten

Dan beberapa istri lainnya.

Dari pasangan Kanjeng Syaikh Maulana Syarif Hidayatullah dengan Kanjeng Gusti Putri Tepa Sari melahirkan keturunan, antara lain :
[1]Kanjeng Gusti Ratu Ayu
[2]Kanjeng Pangeran Pasarean ing Cirebon [sedha ing warsa 1550 M]

Dari pasangan Kanjeng Syaikh Maulana Syarif Hidayatullah dengan Putri Syarifah Baghdad melahirkan keturunan, antara lain :
[1]Pangeran Jaya Kelana
[2]Pangeran Brata Kelana

Sementara dari pasangan Kanjeng Syaikh Maulana Syarif Madhkur Hidayatullah, atau Kanjeng Sunan Gunung Jati dengan Kanjeng Gusti Putri Kawunganten, kemudian melahirkan keturunan yang di kemudian hari menjadi Trah Keturunan Kasulthanan Banten, yakni :
[1]Kanjeng Gusti Ratu Winahon,
[2]Kanjeng Pangeran Saba Kingkin, atau Sulthan Banten-I [1550-1570 M].

Bahwa sesuai dengan Kitab Silsilah Keluarga dari Neneknda Ummu Hajjah Siti Fatimah dibeutkan sanad silsilah beliau bertaut hingga kepada sanad silsilah keturunan Kanjeng Pangeran Pasarean ing Cirebon.

Dan, bila sanad silsilah beliau diteruskan ke jalur Ayahandanya, maka sanad silsilah neneknda kami akan bertaut pada sanad silsilah keturunan Kanjeng Sunan Gunung Jati, atau Kanjeng Syaikh Maulana Syarif Madhkur Hidayatullah.

Adapun, silsilah dari pada Kanjeng Syaikh Maulana Syarif Madhkur Hidayatullah, atau Kanjeng Sunan Gunung Jati adalah putra dari pasangan Maulana Muhammad Zainal Nuruddin dengan Kanjeng Putri Rara Santang binti Prabu Siliwangi ing Pajajaran.

Kemudian bilamana silsilah di lanjutkan ke atas melalui jalur Ayahanda Kanjeng Sunan Gunung Jati, maka silsilah akan bertaut dengan sanad silsilah keturunan Bani Azhamatkhan yang berlanjut hingga sanad silsilah keturunan Al Husaini.

Kemudian, berdasarkan catatan pada Kitab Silsilah keluarga di Medan, maka sanad silsilah keturunan daripada Kanjeng Sunan Gunung Jati, atau Kanjeng Syaikh Maulana Syarif Madhkur Hidayatullah adalah sebagai berikut :

Kanjeng Syaikh Maulana Syarif Madhkur Hidayatullah, atau Kanjeng Sunan Gunung Jati bin Kanjeng Syaikh Maulana Syarif Abdullah 'Umdatuddin, Sulthan Syarif Maulana Abdullah ing Kasulthanan Champa ing nagari Siam, Kamboja bin Kanjeng Syaikh Maulana Syarif Ali Nuril Alam Akbar ing Nagari Carmin Siam bin Kanjeng Syaikh Maulana Syarif Ibrahim Zainuddin Akbar As-Samarqand bin Kanjeng Syaikh Maulana Husain Jamaluddin Al-Akbar bin Kanjeng Syaikh Maulana Ahmad Jalaluddin Syah Akbar bin Kanjeng Syaikh Maulana Abdullah AzmatKhan bin Kanjeng Syaikh Maulana Abdul Malik Azmatkhan Al-Husaini ingkang hijrah saking nagri Yaman tumuju nagari Hindhia.

Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada Silsilah Kubra Bani Adam ilaa Bani Al Azhamatkhan Al Husaini Al Jawi yang akan dipaparkan dibawah berikut.

Silsilah Kubra Bani Adam ilaa Bani Al Azhamatkhan Al Husaini Al Jawi

(1) Kanjeng Nabiyullah Adam Khalifatullah fil ‘Ardhi Allaiiiihissalam wa Kanjeng Ummul Bashar Siti Hawwa Allaihassalam yang menurunkan Bani Adam di seluruh penjuru muka Bumi.

[1] Kasebut Bani Adam

2) Kanjeng Nabiyullah Shiisth ibnu Adam Alaihis Salam
3) Anush bin Shiith
4) Qinan bin Anush
5) Mahlabil bin Qainan
6) Yard bin Mahlabil

[2] Kasebut Bani Idris

7) Kanjeng Nabiyullah Akhnukh utawi Enoch utawi Idris Alaihis Salam bin Yard
8) Mutwashlak bin Idris Alaihis Salam
9) Lamik bin Mutwas
10) Noah utawi Nuuh Alaihi Salam bin Lamik

[3] Kasebut Bani Nuh

11) Sham bin Nuuh Alaihis Salam
12) Arfakshad bin Sham
13) Shalikh bin Arfakshad
14) Abir bin Shalikh
15) Falikh bin Abir
16) Ra’u bin Falikh
17) Saru’ bin Ra'u
18) Nahur bin Saru’
19) Tarih (Azar) bin Nahur
20) Kanjeng Nabiyullah Abraham utawi Ibrahim Alaihis Salam bin Tarih

[4] Kasebut Bani Ibrahim

21) Kanjeng Nabiyullah Ishmael bin Ibrahim Alaihis Salam

[5] Kasebut Bani Ishmail

22) Qaidar bin Ishmail Alaihis Salam
23) Aram bin Qaidar
24) ‘Awda bin Aram
25) Mazzi bin ‘Awda
26) Sami bin Mazzi
27) Zarih bin Sami
28) Nahith bin Zarih
29) Muksar bin Nahith
30) Aiham bin Muksar
31) Afnad bin Aiham
32) Aisar bin Afnad
33) Deshan bin Aisar
34) Aid bin Deshan
35) Ar’awi bin Aid
36) Yalhan bin Ar’awi
37) Yahzin bin Yalhan
38) Yathrabi bin Yahzin
39) Sanbir bin Yathrabi
40) Hamdan bin Sanbir
41) Ad-Da’a bin Hamdan
42) ‘Ubaid bin Ad-Da’a
43) ‘Aqbar bin ‘Ubaid
44) Aid bin ‘Aqbar
45) Makhi bin Aid
46) Nahish bin Makhi
47) Jahim bin Nahish
48) Tabikh bin Jahim
49) Yadlaf bin Tabikh
50) Bildas bin Yadlaf
51) Haza bin Bildas
52) Nashid bin Haza
53) ‘Awwam bin Nashi
54) Obai bin ‘Awwam
55) Qamwal bin Obai
56) Buz bin Qamwal
57) Aws bin Buz
58) Salaman bin Aws
59) Humaisi bin Salaman
60) Add bin Humaisi
61) Adnan bin Add
62) Fahar bin Adnan
63) Nazar bin Fahar
64) Mudar bin Nazar
65) Elias bin Mudar
66) Mudrikah (Amir) bin Elias
67) Khuzaiman bin Mudrikah (Amir)
68) Kinana bin Khuzaiman
69) An-Nadr (Qais) bin Kinana
70) Malik bin An-Nadr (Qais)
71) Fahr (Quraish) bin Malik + Ummu Leila bin Al Hareth
72) Ghalib bin Fahr (Quraish) + Ummu Atikah binti Yakhlud
73) Lu'ai bin Ghalib + Ummu Mawiyah bint Ka'ab
74) Ka'ab bin Lu'ai (7-454H) + Ummu Makshiyyah bint Shaiban
75) Murra bin Ka’ab + Ummu Hind bint Surair
76) Kilab bin Murra + Ummu Fatimah bint Sa'ad

[6] Kasebut Bani Quraish

77) Qusai (Zaid) bin Kilab + Ummu Hubai bint Hulail
78) ‘Abd Manaf (Al Mugheera) bin Qusai (Zaid) + Ummu Atikah bint Murrah

[7] Kasebut Bani Hashim

79) Hashim (Amr) bin Abd Manaf + Ummu Salma bint ‘Amr Bani ‘Adi bin An-Najjar
80) ‘Abdul Muththalib (Shaybah) bin Hashim + Ummu Fathimah bint 'Amr
81) Abu Talib bin Abdul Muttalib + Ummu Fatimah bint Asad
82) Sayyidina Abdullah bin ‘Abdul Muththalib + Ummu Aminah
83) Kanjeng Sayyidina Maulana Musthafa Muhammad Sallalahu Alaihi Wa Sallam bin Abdullah bin 'Abdul Muttalib Radhiyallahu ‘Anhu
84) Kanjeng Sayyidatun Nissa Siti Fatimmah Az-Zahra + Sayyidina Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu
85) Kanjeng Sayyidina Al-Hussain bin Ali Radhiyallahu ‘Anhu
86) Kanjeng Sayyidina Ali Zain Al-Abidin bin Al-Hussain Radhiyallahu ‘Anhu
87) Kanjeng Sayyidina Muhammad Al-Baqir bin Zaid Radhiyallahu ‘Anhu
88) Kanjeng Sayyidina Ja’far Al-Shadiq bin Muhammad Al-Baqir Radhiyallahu ‘Anhu
89) Kanjeng Sayyidina Ali Uraidh Radhiyallahu ‘Anhu
90) Kanjeng Sayyidina Muhammad An-Naqib Radhiyallahu ‘Anhu
91) Kanjeng Sayyidina Isa Ar-Rummi Radhiyallahu ‘Anhu

[8] Kasebut Bani Ba’alawy Al Husaini min Hadramaut Yaman

92) Kanjeng Sayyidina Ahmad Al-Muhajir ingkang hijrah saking Iraq tumuju Hadhramaut Yaman
93) Kanjeng Sayyid Ubaidillah
94) Kanjeng Sayyid Alwi
95) Kanjeng Sayyid Muhammad
96) Kanjeng Sayyid Alwi
97) Kanjeng Sayyid Ali Khali Qasam
98) Kanjeng Sayyid Muhammad Shahib Marbath
99) Kanjeng Sayyid Alwi Ammil Faqih

[9] Kasebut Bani Wazir Azmatkhan Al Husaini min Nasrabad, Agra Indhia

100) Kanjeng Syaikh Maulana Abdul Malik Azmatkhan
101) Kanjeng Syaikh Maulana Abdullah Azmatkhan
102) Kanjeng Syaikh Maulana Ahmad Jalaluddin Akbar Azmatkhan
103) Kanjeng Syaikh Maulana Husein Jamaluddin Akbar Azmatkhan
104) Kanjeng Syaikh Maulana Ali Nurul Alam Akbar Musyarif saking Nagri Carmin ing Siam.
105) Kanjeng Syaikh Maulana Syarif Abdullah ingkang nata jumeneng Sulthan Champa ing Kamboja
106) Kanjeng Syaikh Maulana Syarif Madhkur Hidayatullah utawi Kanjeng Sunan Gunung Jati

[10] Bani Kanjeng Sunan Gunung Jati Trah Kasepuhan Cirebon

Kanjeng Syaikh Maulana Syarif Madhkur Hidayatullah, atau Kanjeng Sunan Gunung Jati [mijil ing warsa 1448, sedha ing warsa 1568 M] dari istri beliau yang bernama Kanjeng Gusti Putri tepa sari, menurunkan trah darah keturunan, antara lain :
[1] Kanjeng Gusti Ratu Ayu
[2] Kanjeng Pangeran Pasarean ing Cirebon [sedha ing warsa 1550 M]

[10.1] Trah Keturunan Kanjeng Pangeran Pasarean ing Cirebon

Berikut yang khusus akan disajikan adalah Bani Kanjeng Sunan Gunung Jati yang menurunkan Trah Keturunan Kanjeng Pangeran Pasarean ing Cirebon, oleh sebab banyak Tragh Keturunan  Kanjeng Sunan Gunung Jati yang tersebur ke seluruh penjuru nusantara dari garis keturunan beberapa Istri beliau.

Adapun Trah Keturunan Kanjeng Sunan Gunung Jati yang turunannya bersambung pada sanad silsilah walid Neneknda kami, Ummu Hajjah Siti Fatimah yang bertaut dengan Trah Bani Kanjeng Pangeran Pasarean ing Cirebon dapat disampaikan sebagai berikut :

107) Kanjeng Pangeran Pasarean ing Cirebon [sedha ing warsa 1550 M]
108) Kanjeng Pangeran Sendang Kemuning [sedha ing warsa 1590 M]
109) Kanjeng Pangeran Emas Zainul Arifin
110) Kanjeng Pangeran Sendang Gayam
111) Kanjeng Panembahan Ratu Pakungwati-II
112) Kanjeng Pangeran Maulana Syamsuddin ing Kasepuhan Cirebon
113) Kanjeng Pangeran Raja Adipati Sulaiman ing Keprabonan Cirebon
114) Kanjeng Sulthan Muhammad Alimuddin ing Kanoman Cirebon-III
115) Kanjeng Sulthan Muhammad Khairuddin ing Kanoman Cirebon-IV
116) Kanjeng Sulthan Muhammad Abu Imamuddin ing Kanoman Cirebon-V

[10.2] Trah Kanjeng Pangeran Haji Maulana Shaleh ing Cirebon :

Kanjeng Sulthan Muhammad Abu Imamuddin ing Kanoman-V menurunkan beberapa putera dan puteri, salah satunya adalah Kanjeng Pangeran Haji Maulana Shaleh yang menurut riwayat semenjak remaja pergi mengembara ke negeri seberang untuk menuntut ilmu agama di daerah Langkat. Dan sempat menikah di Langkat dengan putri Syaikh Langkat yang bernama Siti Maimun, kemudian lahirlah Kanjeng Pangeran Haji Maulana Shaleh.

Dan berikut adalah trah keturunan beliau, Bani Kanjeng Pangeran Haji Maulana Shaleh  ing Cirebon sampai pada tiga generasi keturunannya, yakni sanad silsilah Bani Kanjeng Kyai Haji Maulana Muhammad Nurbuat yang merupakan kakek dari neneknda kami, Ummu Hajjah siti Fatimah dapat dipaparkan antara lain, sebagai berikut :

117) Kanjeng Pangeran Haji Maulana Shaleh+ Nyai Siti Jamilah
118) Kanjeng Pangeran Haji Maulana Abdul Komaruddin + Nyai Siti Maimunah
119) Kanjeng Kyai Haji Maulana Zulkarnain + Nyai Siti Maisarah
120) Kanjeng Kyai Haji Maulana Muhammad Nurbuat+ Nyai Siti Hasanah

Dan selanjutnya disebut sebagai Bani Kyai Haji Maulana Muhammad Nurbuat, sebagai berikut :

120) Kanjeng Kyai Haji Maulana Muhammad Nurbuat + Nyai Siti Hasanah
121) Nenek Uyut Ummu Hajjah Siti Maimunah + Kyai Haji Prawiro Semito
122) Nenek Ummu Hajjah Siti Fatimah + Syaikh Maulana Daly Iman bin Datuk Haji Maulana Fa’ Iman bin Haji Maulana Abdullah Iman Pulau Sembilan bin Syaikh Maulana Ali Asy-Syadzaly

[10.3]  Bani Maulana Daly : Syaikh Maulana Mandala Medan
Untuk selanjutnya, keturunan dari Neneknda Ummu Hajjah Siti Fatimah dan kakeknda Syaikh Maulana Daly Iman disebut sebagai Bani Maulana Daly, oleh karena trah silsilah anak-anak keturunan beliau kemudian mengikuti sanad silsilah daripada suaminya, yakni Bani Maulana Al Daly Asy-Syadzily. Selanjutnya, keturunannya disebut sebagai Bani Al Daly, dan angkatan cicit disebut sebagai Bani Saadah Al Daly, bagi untuk keturunan dari pihak anak-lalki-laki maupun anak perempuan, semua mempunyai wasilah yang sama, yakni Bani Al Daly. 

Meskipun, terdapat pula perubahan nama trah anak keturunan dari putri-putri Kakek dan Nenek Mandala Medan mengikuti Sanad silsilah suaminya. Misalnya, Binti Al Daly Medan menikah dengan Al Rasyid Palembang, maka keturunannya mengikuti Trah Bani Al Rasyid Al Jawi oleh karena kedudukannya berada di Jawa. Atau, Binti Al Daly menikah dengan Harahap, maka keturunannya menggunakan marga Harahap [Etnis Batak Muslim dari Tapanuli Selatan], dan sebagainya. Bagaimanapun riwayatnya, selama masih terpaut ikatan satu DNA darah keluarga, apapun famnya, apapun marganya, apapun trahnya, tetaplah satu keluarga yang saling memiliki ikatan bathin yang kuat, dan sama-sama mempunyai warisan amanah leluhur semata menjaga kehormatan Islam, dengan adab, akhlaq serta ihsan yang mulia sebagaimana ajaran budi pekerti para pendahulu. 

Semoga, Allahu Azza wa Jalla menjadi ikatan cinta kasih sayang lahir bathin persaudaran kita bersama, dan senantiasa saling menjaga amanah agung yang dititipkan pada generasi kita kini, demi generasi penerus kita yang belum terlahir. Insya Allah.

123) Bani Maulana Al Daly-I [garis anak, terdapat 10 anak]

Syaikh Maulana Daly Iman bin Datuk Haji Maulana Fa'Iman + Ummu Hajjah Siti Fatimah  binti Kyai Haji Prawiro Semito menurunkan keturunan, antara lain :

{1} Alm. Datuk HM. Misnan Kresna Daly, di Medan. 
{2} Alm. Datuk HM. Saylan Daly, di Medan.
{3} Datuk HM. Radian Daly, di Jakarta.
{4} Almh. Ummu Hj. Siti Masdalena Daly, di Medan.
{5} Alm. Datuk M. Sabaruddin Surya Dharma Daly, di Medan.
{6} Ummu Hj. Siti Maryam Daly, di Medan.
{7} Almh. Ummu Hj. Siti Mariany Daly, di Tangerang.
{8} Almh. Ummu Siti Suriaty Daly, di Medan.
{9} Datuk M. Buyung Suryaman Daly, di Jogjakarta.
{10} Pak Chik HM. Syamsuardi Daly, di Padang.

Dan seorang putra angkat Neneknda Ummu Hajjah siti Fatimah, adalah :

{11} Pak Chik Drs. H. Chairy Wahyudi, di Medan.

124) Bani Al Daly-II [Garis para Cucu]

125) Bani Saadah Al Daly-III [Cicit]

Demikianlah, sekilas riwayat sanad silsilah daripada Neneknda Ummu hajjah Siti Fatimah binti Kyai Haji Prawiro Semito yang berkedudukan di Kota Medan, Sumatera Utara.

[11] Bani Kanjeng Sunan Gunung Jati Trah Kasepuhan Banten

Sementara dari pasangan Kanjeng Syaikh Maulana Syarif Madhkur Hidayatullah, atau Kanjeng Sunan Gunung Jati dengan Kanjeng Gusti Putri Kawunganten, kemudian melahirkan keturunan yang di kemudian hari menjadi Trah Keturunan Kasulthanan Banten, yakni :
[1] Kanjeng Gusti Ratu Winahon,
[2] Kanjeng Pangeran Saba Kingkin, atau Sulthan Banten-I Maulana Syarif Hasanuddin Banten-I [1550-1570 M].

Berikut adalah Bani Kanjeng Sunan Gunung Jati yang menurunkan Trah Keturunan Kanjeng Pangeran Maulana Hasanuddin, atau Sulthan Banten-I, sebagai berikut :

107) Kanjeng Pangeran Maulana Syarif Hasanuddin utawi Kanjeng Sulthan Banten-I
108) Kanjeng Pangeran Maulana Yusuf
109) Kanjeng Pangeran Maulana Muhammad Nazaruddin
110) Kanjeng Sultan Abbul Mufahir Mahmud Abdul Qadir
111) Kanjeng Sultan Abbul Ma’ali Ahmad
112) Kanjeng Sultan Abbul Fath Abdul Fatah Ageng Tirtayasa

[11.1] Trah Pangeran Jayakarta ing Jatinagara Kaum Batawi

113) Kanjeng Pangeran Sadeli / Sageri / Soegiri / Shogiri
114) Kanjeng Pangeran Syarif Kanzul Arifin
115) Raden Tu Bagus Mamak
116) Raden Tu Bagus Muhammad Ahmad Mufahir
117) Raden Tu Bagus Asikin
118) Raden Tu Bagus Muhammad Shaleh
119) Raden Tu Bagus Somalaya
120) Raden Tu Bagus Hidayat
121) Raden Tu Bagus Nurwendo
122) Raden Tu Bagus Gaharudin
123) Raden Tu Bagus M. Norsatya [Nufadhil Azmatkhan Al-Husaini]

Catatan silsilah Kubra diatas, merupakan gabungan sumber sanad silsilah antara Rabithah Bani Maulana Al Daly Medan, Sumatera Utara dan Rabithah Asy-Syaraf Asy-Syadzily Al Hasani Medan, Sumatera Utara dengan Rabitah wa Naqobah Al Azmatkhan Al-Husaini Jakarta, yang beralamat di Jl. AMD No. 15 RT. 13/3 Cipinang Melayu, Kampung Makasar, Kali Malang, Jakarta Timur.

Demikian, catatan singkat mengenai sanad silsilah dari Walid atau kedua Orang Tua dari neneknda kami, Ummu Hajjah Siti Fatimah binti Kyai Haji Prawiro Semito di Medan, sumatera Utara. Terima-kasih, semoga bermanfaat, khususnya bagi seluruh Bani Maulana Al Daly terkasih.

Innallaaha maa'ana wa kafabillaahi maa'ana
wa ana maa ar-rasulullahi fii syakaratil maut lillahi billahi.

@ismu al daly

Kamis, 18 November 2010

Syaikh Maulana Hasan Asy-Syadzily Al Jawi

Mudzakarah Syaikh Maulana Hasan Asy-Syadzily Rejenu Al Jawi



Barang kali, tanpa di sadari sebelumnya
bathiniyah kita haus akan nilai-nilai luhur para leluhur
dalam istirahat panjangnya di alam baka
yang istiqomah memanggil kesadaran serta nama kita
untuk sekedar berziarah atau mengenang sejarahnya
yang semakin terabaikan bersama perubahan zaman..

Sementara kita,
trah darah keturunan semestinya jadi penerus harapannya
justru larut dalam kesibukan penuhi hasrat duniawi
hingga melupakan ruh cahaya doa keselamatan agung
yang tersembunyi di dalam aliran darah dan tabir ragawi kita
menyebut-nyebut nama-nama yang kian terlupakan zaman
sementara Islam telah jadi pakaian adab dan akhlak kita..


Mengenang pengembaraan bersama Kyai Mas Muhammad Hartoyo, Mursyid Mulia Halaqah 11 Mudzakarah Kanjeng Sunan Giri Prapen Al Jawi  pada  tahun 1999 silam di Maqam Kanjeng Syaikh Maulana  Hasan Asy-Syadzily di Pertapan Alas Rejenu, lembah Gunung Muria, Kudus. Sungguh pengalaman hidup serta pengalaman bathin yang takkan terlupakan.

Al Mursyid Halaqah-11 Suluk Kanjeng Sunan Giri Prapen
Kanjeng Kyai Muhammad Hartaya Ainul Yaqin Temanggung


Di dalamnya, ketika menempuh langkah suluk itu ada satu idiom unik yang waktu itu popular diperbincangkan, ialah “Ilmu Alif”? Seringkali saya mendengar beberapa Mursyid Suluk, Mursyid Thariqah dan Shohibul Halaqah mudzakarah Wali Songo Al Jawi, bahkan para Musafir Suluk yang pernah saya jumpai di beberapa halte pemberhentian kembara tampak asyik berdiskusi perihal ilmu Alif itu. Mulai dari tanya jawab ihwal apakah Al Maknawiyah wal Harafiyah fii Huruf Alif?, rahasia Kalam Alif?, Aurad Alif?, Sirr Alif?, Anasir Alif?, ataupun Asrar Hikmah Alif? Dan sebagainya.

Namun sungguh beribu malang, sayangnya dasar kelono sing bodho, walaupun sudah dijelaskan panjang lebar, rasanya kog saya tetap saja tambah bingung sendiri, jeh.. hehehe? Namun, dengan modal kebodohan dan rasa ingin tahu saya itulah kiranya jadi semangat untuk sekedar mencicipi rasa sebatang sigaret rokok kawung Kudus, bagaimana sih sebenarnya dunia Alif itu? Atau, Suluk Alif itu? Maka, ketika saya bertanya kepada Mursyid saya, Kanjeng Kyai Mas Muhammad Hartaya, atau untuk selanjutnya saya memanggil beliau dengan gelar beliau, yakni Kanjeng Panembahan Mas Giri Prapen-XI.

"Saderengipun kula nyuwun pangapunten, Kanjeng Paman?”
”Iyaa.. ana wigati apa thaa kog tumben njanur gunung, Gus..?”
“Injih punika Kanjeng Paman, menawi kapareng kula badhe taken lan nyuwun dipun paringi wewarah punapa tha ingkang kamaksudaken Ilmu Alif punika?”

Beliau, hanya tersenyum dan mengeluarkan sebuah kitab dari dalam tas Beliau. Dan kemudian Beliau menyodorkan kitab itu kepada saya, serta meminta saya terlebih dahulu membaca, kalau bisa mengkhatam Kitab Al Ihya ’Ulumuddin karya Asy-Syaikh Al Imam Ghazali Radhiyallahu ’Anhu.

Kanjeng Panembahan Mas Giri Prapen berkata, ”Pokoke, kitab iki Sira gawa sikik. Sira waca kanthi temen lan di sinau wae isine sikik kanthi temenan, mengko menawa wis rampung maca, Sira Gus.. Insya Allah, mengko pas tanggal 9 wulan 9 Sira melu Ingsun njajal sinau adab suluk, sinau adab mudzakarah, ziarah marang pratapane para Wali Songo lan leluhur, uga sinau nguripake syahadat jati, yaiku kenal marang jati diri sira pribadi. Insya Allah, mengko menawa wus tekan wektune Sira melu Ingsun silaturahim menyang Bumi Wali Songo. Muga-muga Gusti Allah Azza wa Jalla paring Ridhlane, lan Kanjeng Rasulullah paring Syafa’ate, lan para Wali paring ma’unahe, uga para Walid paring ridhla lan pangestune. Insya Allah..”

”Injih Kanjeng Paman, kula nyuwun dipun bimbing Panjenengan..”

”Iyaa..Insya Allah, padha-padha, Gus. Ingsun lamun saderma netebi wajib ngibadah marang Gusti Allah Azza wa Jalla. Amarga tugas kitha salaku ummat Muslim iku ingkang wigati mesti dadhi Mukmin keng Sejati, netebi wajib marang syari’ate Kanjeng Nabi Muhammad Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam”.

“Injiih.. Kanjeng Paman, kula suka rila ngestokaken dhawuh..”

”Iyaa.. padha-padha.. Alhamdulillahi Rabbul Mustajabah..”

Dengan jutaan rasa bingung dan gedandhapan, saya terima pinjaman Kitab Al Ihya ’Ulumuddin dari beliau dan menunaikan amanah beliau. Saya membathin, apakah seorang ahli maksiat seperti diri saya ini layak menerima amanah ini?

Beliau, Kanjeng Panembahan Mas Giri Prapen kemudian mengajak saya untuk pergi belajar suluk dan mudzakarah ke Bumi Wali Songo, yakni Kota Demak. Masya Allah, dalam hati saya gelisah tak menentu karena memang tidak tahu harus bagaimana? Akhirnya setelah bersekapat waktu dan tempat pertemuan, maka kami berangkat dengan naik mobil angkot ke Terminal Pulo Gadung, dimana sedari awal kami berdua dalam kondisi berpuasa dan berdzikir di setiap hembus nafas, serta di setiap melangkahkan kaki menapak wajah Bumi Allah. Alhamdulillah, sesampai tiba di Terminal Pulo Gadung, tiba-tiba seperti sudah dipersiapkan kami langsung dapat Bus Malam yang menuju ke Kota Demak. Subhanallah.. Demikian suluk di mulai.

Bersama Mursyid Mulia Halaqah-XI Mudzakarah Wali Songo, yakni Kanjeng Kyai Mas Mohammad Hartaya, beliau merupakan trah darah sekaligus penerus perjuangan Kanjeng Sunan Giri Prapen yang ke sebelas. Seorang Mursyid yang sangat bersahaja, serta luas wawasan pemahamannya mengenai ilmu Fiqih, ilmu Tasawuf, serta sejarah Islam.

Beberapa foto yang terlampir pada catatan ini merupakan foto lokasi-lokasi yang pernah kami datangi pada tahun 1999, dan kondisi yang tampak dalam foto-foto terlampir jauh sangat berbeda dengan pertama-kasi sampai di Alas Rejenu itu. Namun, setidaknya dapat menjadi gambaran bagaimana kondisi alam sekitar Alas Rejenu saat ini. Meskipun hampir 11 tahun silam, saya berkesempatan mengawal Mursyid Mulia Kanjeng Kyai Mas Mohammad Hartaya bersuluk dan bermudzakarah bathin ke Alas Rejenu. Sungguh, terasa damai dalam hidup dan sejuk dalam bathin.


Kawasan Wisata Alam Rejenu dengan ketinggian kurang lebih 1.150 M DPL, terletak dipegunungan Argo Jembangan Gunung Muria, berjarak kurang lebih 3 Km dari Pesanggrahan Colo. Masih banyak yang belum mengetahui kompleks ziarah ini, keadaan alamnya masih alami. Untuk mencapai lokasi, dari Desa Rejenu cukup jauh kurang lebih sekitar 3 km. Bisa ditempuh dengan jalan kaki atau kendaraan bermotor roda dua. Banyak dimanfaatkan oleh para Alim Ulama atau santri Pondok Pesantren setempat setempat untuk beruzlah, menyepi dan memperoleh ketenangan bathin.


Rejenu berlokasi di Pegunungan Argo Jambangan sekitar 3 km dari Pesanggrahan Gunung Muria. Menurut cerita rakyat dari desa Rejenu, Syech Hasan Sadzali adalah seorang Ulama, Guru Besar Spiritual dari Wali Songo. Beliau berasal dari Negeri Seberang, Timur Tengah. Berkelana untuk sampai ke Tanah Jawa untuk syiar agama Islam.

Sebuah makam di sebelah utara makam Sunan Muria, di atas objek air terjun Montel. Tepatnya di Japan Utara yang dikenal dengan Rejenu yang berdasarkan astronomi berada di koordinat 6° 39′ 6″ LS 110° 54′ 10″ BT. Di sini terdapat sebuah makam yang banyak diziarahi orang. Orang mengenalnya sebagai makam Syeh Sadzali. Salah satu murid Sunan Muria yang disegani.



Untuk mencapai makam ini memang tidak segampang bila ingin ziarah ke makam Sunan Muria. Kawasan ini boleh dikatakan belum tersentuh ”tangan” pembangunan yang menyediakan fasilitas kemudahan. Masih alami. Listrikpun belum tersedia. Walau sekarang jalan menuju tempat tersebut telah diperlebar dan dilapisi beton sehingga banyak tersedia jasa ojek (melalui rute desa Japan). Sedangkan bila melalui Air terjun Montel masih harus melewati jalan setapak.


Yang datang berziarah tidak hanya dari Kudus. Banyak yang berasal dari kota-kota besar di Jawa, seperti Jakarta, Tangerang, Bandung, Semarang, dan Surabaya. Sebagian lagi dari Palembang dan Kalimantan. Bahkan, dari Singapura dan Irlandia. Selain itu, ternyata masih ada beberapa objek lain yang berdekatan dengan makam Syeh Sadzli dan Air Tiga Rasa ini. Objek-objek itu antara lain : [1] Air terjun Langgar Bubrah. Cukup tinggi, tak kalah dengan air terjun Montel di Colo. Namun, jalan ke arah sana baru jalan setapak atau lewat aliran Sungai Rejenu. [2] Gua Jepang. [3] Makam Syeh Subakir dan Ali Murtadho. Di sebelah atas melalui jalan setapak yang terjal. [4] Sendang Anglingdarmo. Selain itu, Rejenu (Makam Syeh Sadzli dan Air Tiga Rasa) merupakan pos pendakian terakhir bagi yang ingin mendaki ke Puncak Argowiloso maupun Argojembangan. Dua diantara beberapa puncak tertinggi Gunung Muria.

Dulu kami berjalan kaki dari Masjid Agung Demak Bintoro menuju Makam Kanjeng Sunan Kudus, kemudian melanjutkan perjalanan kaki hingga ke Alas Rejenu untuk berziarah ke Makam Kanjeng Syaikh Maulana Hasan asy-Syadzily dan beberapa tempat petilasan Wali Songo lainnya di sekitar Gunung Muria. Dan berlanjut ke atas Gunung Muria untuk berziarah ke Makam Kanjeng Sunan Muria melalui jalur Puncak Sanga Likur, sehingga kami sempat berziarah sebelumnya ke Makam Pangeran Kembar, serta beberapa Makam kerabat Kanjeng Sunan Muria lainnya.
  

Terakhir menutup perjalanan, kami teruskan turun Gunung Muria menuju ke Kadilangu Demak untuk berziarah ke Makam Kanjeng Sunan Kali Jogo. Sekaligus memenuhi undangan menghadiri acara Haul Kanjeng Sunan Kali Jogo di Masjid Kadilangu Demak. Setelah acara Haul selesai, saya kembali mengawal Mursyid Mulia Kanjeng Kyai Mas Mohammad Hartaya menuju kota Temanggung, tepatnya ke Pondok Pesantren keluarga beliau yang mejadi warisan dari leluhur mulia beberapa alim ulama setempat, yakni Kanjeng Panembahan Giri Prapen-II putra dari Kanjeng Sunan Giri Prapen-I putra dari Kanjeng Sunan Giri, Syaikh Maulana Ainul Yaqin.


Tuk Tiga Rasa, atau sumber mata air tiga rasa, konon kisahnya dahulu bermula dari kedatangan Syaikh Sadzali atau Mbah Kasan Sadali sebutan masyarakat Muria untuk Syaikh Maulana Hasan Asy-Syadzily ke Pesantren Kanjeng Sunan Muria pada masa Wali Songo. Beliau adalah seorang musafir dari Baghdad Iraq yang ingin memuntut ilmu di tanah Jawa, hingga bermukim sampai akhir hayatnya di tengah Alas Rejenu yang terletak di utara lereng Gunung Muria.

Ketika Syaikh Maulana Hasan Asy-Syadzily menghadap Kanjeng Sunan Muria, yakni Raden Umar Said untuk berguru. Dan selanjutnya, Kanjeng Sunan Muria meminta Syaikh Maulana Hasan Asy-Asyadzily untuk pergi ke sebelah utara, tepatnya di daerah Rejenu. Belakangan diketahui oleh masyarakat Japan di lembah Gunung Muria, bahwa Syaikh Maulana Hasan Asy-Syadzily ternyata mempunyai banyak pemahaman tentang ilmu hikmah serta rahasia karomah. Sehingga, dari waktu ke waktu ada beberapa orang yang ingin berguru kepada beliau, lama-lama orang yang datang untuk mejadi santrinya pun semakin banyak. Melihat perkembangan itu, maka Syaikh Maulana Hasan Asy-Syadzily bersama para santri dengan bantuan para penduduk sekitar Alas Rejenu kemudian membangun sebuah Langgar, atau mushola yang dibawahnya terdapat sebuah mata air yang digunakan para santri beliau untuk berwudhlu dan memenuhi kebutuhan hidup.

Namun, pada suatu ketika muncul berita bahwa air dari mata air tersebut mempunyai khasiat dapat menghidupkan orang yang sudah meninggal. Lama-kelamaan masyarakat Gunung Muria dan sekitarnya semakin banyak yang datang berbondong-bondong untuk melakukan persembahan atau ritual-ritual karena ingin mendapatkan berkah dari mata air tersebut. Ketika Syaikh Maulana Hasan Asy-Syadzily melihat hal tersebut, maka beliau menjadi muraka dan langsung menutup sumber mata air tersebut, karena banyak hal yang dianggap musyrik telah dilakukan oleh penduduk setempat di daerah itu.


Beberapa waktu kemudian, di sebelah barat Langgar yang berjarak kurang lebih 100 meter, muncul tiga buah mata air yang kemungkinan besar dibuat oleh beliau untuk mengambil air wudhlu. Para santri pun menggunakan ketiga mata air tersebut sebagai tempat berwudhlu, mandi, mencuci dan lain-lain sebagai pengganti mata air telah yang di tutup oleh Syaikh Maulana Hasan Asy-Syadzily. Setelah beliau wafat dipanggil untuk menghadap Allahu Rabbul Khaliq, jenazah beliau dimakamkan di sekitar tiga mata air yang lazim disebut Tuk Tiga Rasa tersebut.

Mengenai istilah air tiga rasa, menurut Mbah Abdullah kuncen makam yang pertama, istilah tersebut berasal dari lidah para musafir yang datang. Ketika pengunjung meminum ketiga sumber mata air tersebut, mereka merasakan rasa air yang berbeda-beda dari ketiga lubang mata air itu. Ada yang tawar, payau dan sedikit asin. Maka sejak saat itulah masyarakat sekitar gunung muria dan para musafir yang singgah menamakan mata air tersebut dengan sebutan “ Air Tiga Rasa”.

Adalah Mbah Alif, seorang pengembara rohani nan arif billah yang misterius dan susah banget ditemukan lagi! Jadi, sungguh beruntunglah diri saya bisa berjumpa dengan beliau bertepatan tanggal 9 September 1999, ketika sedang berziarah ke Makam Kanjeng Syaikh Syadzali yang tersembunyi di tengah kesunyian Alas Rejenu di lereng Gunung Muria wilayah Desa Japan, Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah.

Dan, Mbah Alif pula dengan sabar menuntun langkah saya yang ahli maksiat ini bermudzakarah dan menziarahi Makam tokoh Syaikh Hasan Sadzali yang misterius di tengah Alas Rejenu. Menziarahi beberapa petilasan Syaikh Maulana Abdul Jalil, Syaikh Hasan Sadzali, dan Kanjeng Sunan Kali Jogo yang berada di Puncak Songo Likur, Puncak Argo Jembangan serta Puncak Argo Wiloso dengan menempuh jalur pendakian yang ekstrim. Beberapa tajalli langit memusnahkan lelah jasad. 




Dan mudzakarah berakhir dengan berziarah di Gubah Makam Kanjeng Sunan Muria, atau Syaikhuna Maulana Umar Sa’id bin Syaikhuna Maulana Sahid Abdurrahman. Beliau adalah putra Kanjeng Sunan Kali Jogo, Waliyullah yang masyhur di tanah Jawa pada kurun waktu tahun 1500 awal. Sungguh, bagi saya suatu pengalaman bathin yang luar biasa, ketika merasakan kesejukan hawa atmosfera alam Jabal Murwahnya tanah Jawa itu. Alam yang berdzikir lebih syahdu daripada dzikir makhluk.

Matur nuwun, Mbah Alif. Meskipun Panjenengan kini susah banget saya temukan dimana Pertapan Panjenegan? Dan betapa kangen bathin saya ingin berjumpa dengan Mbah Alif? Mursyid Suluk nan mulia di halaqah tanpo aran ini, dan semoga kawruh bathin Panjenengan jadi manfa’at bagi para pengembara bathin. Semoga Gusti Allahu Jalaluhu menjaga Panjenengan dengan rahmat agung KemuliaanNya dengan syafa’at Rasulullah.

Sejarah Syeh Sadzali masih penuh misteri. Pengurus Yayasan setempat sedang mengumpulkan data. Yang mereka yakini, Syeh itu salah satu murid Sunan Muria yang konon berasal dari Inegeri seberang, yang mengelana hingga ke tanah Jawa selepas menuntut ilmu Tasawwuf di Negeri Baghdad, Iraq.

Namun untuk selanjutnya akan saya luruskan kisah Beliau melalui hasil mudzakarah di Gunung Muria. Salah satu murid yang dikasihi karena pegang peranan penting ketika Sunan Muria mengadu kesaktian dengan Dampo Awang. Karena banyak yang iri kemudian tersisih atau disisihkan. Ada dugaan beliau menyingkir ke tempat dia dimakamkan sekarang ini di Rejenu.




Di Langgar Kanjeng Syaikh Maulana Hasan Ali Asy-Syadzily inilah, tempat pertemuan saya bersama Kyai Mas Muhammad Hartaya dengan Mbah Alif yang mengajarkan mengenai ihwal Risalah Kalam Alif kepada saya. Saya sendiri penasaran, risalah Ilmu Alif itu sebenarnya bagaimana? Dalam satu perbincangan yang saya sempat dengar, bahwa Inti daripada Alif adalah “Alif” ini diturunkan oleh Gusti Allah Ta ‘Ala sebelum Allah Ta’Ala menciptakan bumi dan langit. Alif ini sudah diturunkan ke setiap Ruhul Qulubiyah Insani? Jadi, singkat cerita hikmah ilmu Alif ini sudah dipegang oleh semua makhluk, tapi bagaimana tafsirnya?


Berdasarkan sanad silsilah yang terdapat dalam Kanzul Wasilah wa Sanads Silsilah  Bani Maulana  Al daly Asy-Syadzily Langkat di Pulau Sembilan, Langkat, Sumatera Utara, berikut adalah sanad silsilah daripada Kanjeng Syaikh Maulana Hasan Asy-Syadzily yang dipusarakan di Pertapan Alas Rejenu, Kudus, antara lain sebagai berikut :

1)Syaikh Maulana Hasan Ali Nuruddin Asy-Syadzily Al Jawi
2)Syaikh Maulana Muhammad Shalih Asy-Syadzily Al Bantani
3)Syaikh Maulana Malik Abdurrahman Asy-Syadzily Al Malaka
4)Syaikh Maulana Malik Abdullah Asy-Syadzily Waliyul Qutubuddin Al Jawi
5)Syaikh Maulana Asy-Syarif Malik Ahmad Asy-Syadzily Al Jawi
6)Syaikh Maulana Asy-Syarif Abdul Malik Asy-Syadzily
7)Syaikh Maulana Asy-Syarif Abu Ahmad Awwaluddin Asy-Syadzily Al Quds
8)Syaikh Maulana Asy-Syarif Abu Hasan Ali Nurruddin Asy-Syadzily
9)Syaikhuna Maulana Al Quthub Asy-Syarif Abu Hasan Ali Asy-Syadzily
10)Maulana Asy-Syarif Abu Abdullah Al Maghribi Al Aqsha
11)Maulana Asy-Syarif Abdul Jabar
12)Maulana Asy-Syarif Abu Thamiim
13)Maulana Asy-Syarif Abu Hurmuz
14)Maulana Asy-Syarif Abu Qushaiy
15)Maulana Asy-Syarif Abu Yusuf
16)Maulana Asy-Syarif Abu Yushaqq
17)Maulana Asy-Syarif Abu Wardha
18)Maulana Asy-Syarif Abu Batthal
19)Maulana Asy-Syarif Abu Ali
20)Maulana Asy-Syarif Abu Ahmad
21)Maulana Asy-Syarif Abu Muhammad
22)Maulana Asy-Syarif Abu Issa
23)Maulana Asy-Syarif Abu Idhris
24)Maulana Asy-Syarif Abu Umar
25)Maulana Asy-Syarif Abu Idhris
26)Maulana Asy-Syarif Abu Abdullah
27)Asy-Syarif Hasan Al Mutsanna Radhiyallahu ‘anhu
28)Sayyiduna Asy-Syarif Al Imam Hasan As-Sabti Radhiyallahu ‘anhu
29)Sayyidina Al Imam Ali Al Haidar bin Abi Thalib Karamallahu wajhah


Untuk kisah riwayat singkat daripada Kanjeng Syaikh Maulana Hasan Asy-Syadzily, Insya Allah akan saya sajikan pada lain kesempatan. Tentu saja, sebagai hasil suluk mudzakarah pun saya tetap harus melengkapi sumber-sumber pustaka atau nara sumber yang mengetahui bagaimana sejarah Kanjeng Syaikh Maulana Hasan Asy-Syadzily tersebut.

Karena, tentu saja akan berhubungan erat dengan sejarah Babad Demak Bintoro, Babad Wali Songo, serta menyinggung sejarah atau Babad Syaikh Siti Jenar. Oleh sebab itu, mohon maaf sebelumnya serta mohon maklum adanya, untuk kisah sang waliyullah misterius ini akan disajikan di lain waktu, matur nuwun.



Ya Allah, tenggelamkan aku dalam Cinta-Mu,
hingga tak ada sesuatu pun yang menggangguku dalam jumpa-Mu.

Ya Allah, anegerahilah aku setetes Cinta,
agar aku bisa mencintai-Mu dengan Cinta yang sesungguhnya.

Ya Allah, limpahilah aku sekeranjang Rindu,
biar aku dapat mencumbu-Mu dengan seluruh jiwaku.



 

*Catatan Mudzakarah Ismu Al Daly bersama Al Mursyid Kyai Mas Muhammad Hartaya Ainul Yaqin, Mbah Alif sang Musafir misterius, serta Mbah ul juru Kunci Makam, pada tanggal 9/9/1999 di Pertapan Syaikh Maulana Hasan Asy-Syadzily di Alas Rejenu Muria, Kudus, Jawa Tengah.

Mengenal Thariqah Syadziliyyah [1]






Secara pribadi Abul Hasan asy-Syadzili tidak meninggalkan karya tasawuf, begitu juga muridnya, Abul Abbas al-Mursi, kecuali hanya sebagai ajaran lisan tasawuf, Doa, dan hizib. Ibn Atha’illah as- Sukandari adalah orang yang prtama menghimpun ajaran-ajaran, pesan-pesan, doa dan biografi keduanya, sehingga kasanah tareqat Syadziliyah tetap terpelihara. Ibn Atha’illah juga orang yang pertama kali menyusun karya paripurna tentang aturan-aturan tareqat tersebut, pokok-pokoknya, prinsip-prinsipnya, bagi angkatan-angkatan setelahnya.
 

Melalui sirkulasi karya-karya Ibn Atha’illah, tareqat Syadziliyah mulai tersebar sampai ke Maghrib, sebuah negara yang pernah menolak sang guru. Tetapi ia tetap merupakan tradisi individualistik, hampir-hampir mati, meskipun tema ini tidak dipakai, yang menitik beratkan pengembangan sisi dalam. Syadzili sendiri tidak mengenal atau menganjurkan murid-muridnya untuk melakukan aturan atau ritual yang khas dan tidak satupun yang berbentuk kesalehan populer yang digalakkan. Namun, bagi murid-muridnya tetap mempertahankan ajarannya. Para murid melaksanakan Tareqat Syadziliyah di zawiyah-zawiyah yang tersebar tanpa mempunyai hubungan satu dengan yang lain.

Sebagai ajaran Tareqat ini dipengaruhi oleh al-Ghazali dan al-Makki. Salah satu perkataan as-Syadzili kepada murid-muridnya: “Seandainya kalian mengajukan suatu permohonanan kepada Allah, maka sampaikanlah lewat Abu Hamid al-Ghazali”. 

Perkataan yang lainnya: “Kitab Ihya’ Ulum ad-Din, karya al-Ghozali, mewarisi anda ilmu. Sementara Qut al-Qulub, karya al-Makki, mewarisi anda cahaya.” 

Selain kedua kitab tersebut, as-Muhasibi, Khatam al-Auliya, karya Hakim at-Tarmidzi, Al-Mawaqif wa al-Mukhatabah karya An-Niffari, Asy-Syifa karya Qadhi ‘Iyad, Ar-Risalah karya al-Qusyairi, Al-Muharrar al-Wajiz karya Ibn Atah’illah.

1.Ketaqwaan terhadap Allah swt lahir dan batin, yang diwujudkan dengan jalan bersikap wara’ dan Istiqamah dalam menjalankan perintah Allah swt.
2.Konsisten mengikuti Sunnah Rasul, baik dalam ucapan maupun perbuatan, yang direalisasikan dengan selalau bersikap waspada dan bertingkah laku yang luhur.
3.Berpaling (hatinya) dari makhluk, baik dalam penerimaan maupun penolakan, dengan berlaku sadar dan berserah diri kepada Allah swt (Tawakkal).
4.Ridho kepada Allah, baik dalam kecukupan maupun kekurangan, yang diwujudkan dengan menerima apa adanya (qana’ah/ tidak rakus) dan menyerah.
5.Kembali kepada Allah, baik dalam keadaan senang maupun dalam keadaan susah, yang diwujudkan dengan jalan bersyukur dalam keadaan senang dan berlindung kepada-Nya dalam keadaan susah.

Kelima sendi tersebut juga tegak diatas lima sendi berikut:

1.Semangat yang tinggi, yang mengangkat seorang hamba kepada derajat yang tinggi.
2.Berhati-hati dengan yang haram, yang membuatnya dapat meraih penjagaan Allah atas kehormatannya.
3.Berlaku benar/baik dalam berkhidmat sebagai hamba, yang memastikannya kepada pencapaian tujuan kebesaran-Nya/kemuliaan-Nya.
4.Melaksanakan tugas dan kewajiban, yang menyampaikannya kepada kebahagiaan hidupnya.
5.Menghargai (menjunjung tinggi) nikmat, yang membuatnya selalu meraih tambahan nikmat yang lebih besar.

Selain itu tidak peduli sesuatu yang bakal terjadi (merenungkan segala kemungkinan dan akibat yang mungkin terjadi pada masa yang akan datang) merupakan salah satu pandangan tareqat ini, yang kemudian diperdalam dan diperkokoh oleh Ibn Atha’illah menjadi doktrin utamanya. Karena menurutnya, jelas hal ini merupakan hak prerogratif Allah. Apa yang harus dilakukan manusia adalah hendaknya ia menunaikan tugas dan kewajibannya yang bisa dilakukan pada masa sekarang dan hendaknya manusia tidak tersibukkan oleh masa depan yang akan menghalanginya untuk berbuat positif.

Sementara itu tokohnya yang terkenal pada abad ke delapan Hijriyah, Ibn Abbad ar-Rundi (w. 790 H), salah seorang pensyarah kitab al-Hikam memberikan kesimpulan dari ajaran Syadziliyah: Seluruh kegiatan dan tindakan kita haruslah berupa pikiran tentang kemurahan hati Allah kepada kita dan berpendirian bahwa kekuasaan dan kekuatan kita adalah nihil, dan mengikatkan diri kita kepada Allah dengan suatu kebutuhan yang mendalam akan-Nya, dan memohon kepada-Nya agar memberi syukur kepada kita.”

Mengenai dzikir yang merupakan suatu hal yang mutlak dalam tareqat, secara umum pada pola dzikir tareqat ini biasanya bermula dengan Fatihat adz-dzikir. Para peserta duduk dalam lingkaran, atau kalau bukan, dalam dua baris yang saling berhadapan, dan syekh di pusat lingkaran atau diujung barisan. Khusus mengenai dzikir dengan al-asma al-husna dalam tareqat ini, kebijakjsanaan dari seorang pembimbing khusus mutlak diperlukan untuk mengajari dan menuntun murid. Sebab penerapan asma Allah yang keliru dianggap akan memberi akibat yang berbahaya, secara rohani dan mental, baik bagi sipemakai maupun terhadap orang-orang disekelilingnya. 

Beberapa contoh penggunaan Asma Allah diberikan oleh Ibn Atha’ilah berikut: “Asma al-Latif,” Yang Halus harus digunakan oleh seorang sufi dalam penyendirian bila seseorang berusaha mempertahankan keadaan spiritualnya; Al-Wadud, Kekasih yang Dicintai membuat sang sufi dicintai oleh semua makhluk, dan bila dilafalkan terus menerus dalam kesendirian, maka keakraban dan cinta Ilahi akan semakin berkobar; dan Asma al-Faiq, “Yang Mengalahkan” sebaiknya jangan dipakai oleh para pemula, tetapi hanya oleh orang yang arif yang telah mencapai tingkatan yang tinggi.

Tareqat Syadziliyah terutama menarik dikalangan kelas menengah, pengusaha, pejabat, dan pengawai negeri. Mungkin karena kekhasan yang tidak begitu membebani pengikutnya dengan ritual-ritual yang memberatkan seperti yang terdapat dalam tareqat-tareqat yang lainnya. Setiap anggota tareqat ini wajib mewujudkan semangat tareqat didalam kehidupan dan lingkungannya sendiri, dan mereka tidak diperbolehkan mengemis atau mendukung kemiskinan. 

Oleh karenanya, ciri khas yang kemudian menonjol dari anggota tareqat ini adalah kerapian mereka dalam berpakaian. Kekhasan lainnya yang menonjol dari tareqat ini adalah “ketenagan” yang terpancar dari tulisan-tulisan para tokohnya, misalnya: asy-Syadzili, Ibn Atha’illah, Abbad. A Schimmel menyebutkan bahwa hal ini dapat dimengerti bila dilihat dari sumber yang diacu oleh para anggota tareqat ini. Kitab ar-Ri’ayah karya al-Muhasibi. Kitab ini berisi tentang telaah psikologis mendalam mengenai Islam di masa awal. 

Acuan lainnya adalah Qut al-Qulub karya al-Makki dan Ihya Ulumuddin karya al-Ghozali. Ciri “ketenangan” ini tentu sja tidak menarik bagi kalangan muda dan kaum penyair yang membutuhkan cara-cara yang lebih menggugah untuk berjalan di atas Jalan Yang Benar.

Disamping Ar-Risalahnya Abul Qasim Al-Qusyairy serta Khatamul Auliya’nya, Hakim at-Tirmidzi. Ciri khas lain yang dimiliki oleh para pengikut tareqat ini adalah keyakinan mereka bahwa seorang Syadzilliyah pasti ditakdirkan menjadi anggota tareqat ini sudah sejak di alam Azali dan mereka percaya bahwa Wali Qutb akan senantiasa muncul menjadi pengikut tareqat ini.

Tidak berbeda dengan tradisi di Timur Tengah, Martin menyebutkan bahwa pengamalan tareqat ini di Indonesia dalam banyak kasus lebih bersifat individual, dan pengikutnya relatif jarang, kalau memang pernah, bertemu dengan yang lain. Dalam praktiknya, kebanyakan para anggotanya hanya membaca secara individual rangaian-rangkaian doa yang panjang (hizb), dan diyakini mempunyai kegunaan-kegunaan megis. 

Para pengamal tareqat ini mempelajari berbagai hizib, paling tidak idealnya, melalui pengajaran (talkin) yang diberikan oleh seorang guru yang berwewenang dan dapat memelihara hubungan tertentu dengan guru tersebut, walaupun sama sekali hampir tidak merasakan dirinya sebagai seorang anggota dari sebuah tareqat.

Hizb al-Bahr, Hizb Nashor, disamping Hizib al-Hafidzah, merupaka salah satu Hizib yang sangat terkenal dari as-Syadzilli. Menurut laporan, hizib ini dikomunikasikan kepadanya oleh Nabi SAW. Sendiri. Hizib ini dinilai mempunyai kekuatan adikodrati, yang terutama dugunakan untuk melindungi selama dalam perjalanan. Ibnu Batutah menggunakan doa-doa tersebut selama perjalanan-perjalanan panjangnya, dan berhasil. 

Dan di Indonesia, dimana doa ini diamalkan secara luas, secara umum dipercaya bahwa kegunaan megis doa ini hanya dapat “dibeli” dengan berpuasa atau pengekangn diri yang liannya dibawah bimbingan guru.

Hizib-hizib dalam Tareqat Syadzilliyah, di Indonesia, juga dipergunakan oleh anggota tareqat lain untuk memohon perlindungan tambahan (Istighotsah), dan berbagai kekuatan hikmah, seperti debus di Pandegelang, yang dikaitkan dengan tareqat Rifa’iyah, dan di Banten utara yang dihubungkan dengan tareqat Qadiriyah.

Para ahli mengatakan bahwa hizib, bukanlah doa yang sederhana, ia secara kebaktian tidak begitu mendalam; ia lebih merupakan mantera megis yang Nama-nama Allah Yang Agung (Ism Allah A’zhim) dan, apabila dilantunkan secara benar, akan mengalirkan berkan dan menjamin respon supra natural. 

Menyangkut pemakaian hizib, wirid, dana doa, para syekh tareqat biasnya tidak keberatan bila doa-doa, hizib-hizib (Azhab), dan wirid-wirid dalam tareqat dipelajari oleh setiap muslim untuk tujuan personalnya. Akan tetapi mereka tidak menyetujui murid-murid mereka mengamalkannya tanpa wewenang, sebab murid tersebut sedang mengikuti suaru pelatihan dari sang guru.

Tareqat ini mempunyai pengaruh yang besar di dunia Islam. Sekarang tareqat ini terdapat di Afrika Utara, Mesir, Kenya, dan Tanzania Tengah, Sri langka, Indonesia dan beberapa tempat yang lainnya termasuk di Amerika Barat dan Amerika Utara. Di Mesir yang merupakan awal mula penyebaran tareqat ini, tareqat ini mempunyai beberapa cabang, yakitu: al-Qasimiyyah, al- madaniyyah, al-Idrisiyyah, as-Salamiyyah, al-handusiyyah, al-Qauqajiyyah, al-Faidiyyah, al-Jauhariyyah, al-Wafaiyyah, al-Azmiyyah, al-Hamidiyyah, al-Faisiyyah dan al- Hasyimiyyah.

Yang menarik dari filosufi Tasawuf Asy-Syadzily, justru kandungan makna hakiki dari Hizib-hizib itu, memberikan tekanan simbolik akan ajaran utama dari Tasawuf atau Tharekat Syadziliyah. Jadi tidak sekadar doa belaka, melainkan juga mengandung doktrin sufistik.


*Referensi Pustaka saya nukil dari berbagai sumber terbuka yang ada di media internet, terima-kasih.