MANAQIB HADRATUSY SYAIKHUNA ABU HASAN ALI ASY-SYADZILY
PASAL 4
Jadi dalam Islam ini sebenarnya tidak ada pertentangan, yang ada hanya berupa tingkatan pemahaman, kita punya dalil yang bisa menguatkan argumentasi kita, orang juga punya dalil sebagai penguat alasan terhadap suatu ilmu, jadi bukanlah alasan, jika dalam perbedaan pendapat ini menjadikan suatu kecaman terhadap orang lain, lebih utama pengetahun orang lain itu diterima sebagai tambahan bagi penyempurnaan ilmu yang kita miliki bukan dijadikan sebagai bahan untuk memperlebar pertentangan dan permusuhan yang akibatnya akan menimbulkan kekeruhan dalam Islam itu sendiri, dan lebih fatal berakibat menghancurkan Islam itu sendiri tanpa disadari.
Mengapa sebagian orang Islam sendiri mengecam tasawuf? Terhadap aliran yang menfokuskan tujuan untuk membersihkan buah/batin karena asosiasi mereka telah dikeruhkan oleh mistik dan yang sejenis diluar Islam dan sukarnya mereka tidak bisa memisahkan hal tersebut sehingga dengan cepat dan singkat mengambil sesuatu keputusan bahwa tasawuf itu berasal dari aliran-aliran kebatinan/mistik bukan dari Islam.
Hal ini sebenarnya suatu kesimpulan yang terlalu dini (terlalu pagi) kurang berhati-hati jadi aliran tasawuf sebenarnya bukan seperti yang diduga oleh sebagian orang tersebut kalaulah ada keserupaan dalam hal tertentu namun jelas tidak akan sama, dan orang yang menentang tasawuf (toriqoh) justru adalah orang yang menyamakan/ engidentikan aliran tasawuf dengan aliran mistik diluar Islam, perbedaan itulah yang akhirnya mengerahkan pikiran orang tersebut, sedangkan tasawuf yang diluar volusi pikiran orang tersebut, kelak kita memberi segi kesamaan dalam cara peribadatan antara orang Islam dan orang diluar Islam tentu akan kita temukan kalau orang Islam sholat menghadap kiblat yakni ka’bah sedang diluar Islam menyembah berhala apa itu tidak serupa?
Tapi jelas tidak sama dalam tujuan dan hakikatnya yang sebenarnya, lantas apakah kita katakan bahwa Islam berasal dari suatu agama yang bukan Islam? Jelas tidak, jelas bukan, demikian juga halnya dengan tasawuf tentuk tidak akan menyamakan bagi orang yang mau berfikir sekaligus merenungkan dan memahami namun kita pun tidak menutup mata bahwa memang ada yang mengaku dari aliran tasawuf yang mendapat pengaruh-pengaruh dari kebudayaan diluar Islam.
Jadi kesalah pahaman dalam bidang tasawuf tersebut hanya disebabkan orang yang tidak memahami tasawuf dan hakikotnya yang terkandung didalamnya, jadi yang sebenarnya tidak mengenal sama sekali pengetahuannya tentang tasawuf hanya membaca buku-buku atau hanya sekedar mendengar dari ucapan orang lain dan tidak langsung menanyakan atau mendengar penjelasan dari seseorang yang ahli tasawuf sehingga terjadi kesalah pahaman.
Suatu contoh, dawuhnya Syaikh Ibny Arobi yang menceritakan hakikot tasawuf dengan mempertemukan bahasa yang bukan bahasa umum akhirnya mengundang daya tanggap dari orang lain yang sebetulnya dia tidak tahu tasawuf sehingga keluar ucapan-ucapan yang cukup bermutuh dan kesimpulan yang terlalu dini dan agak kurang berhati-hati karena orang mengira sebagaimana ucapan ibnu ’Araby tersebut sama dengan pisang goreng yang tidak bisa disantap akhirnya orang menyantap pisang goreng ibnu ’Araby tersebut jadi mual perutnya dan akhirnya muntah-muntah dan tentu saja dia jadi sewot dengan Ibnu ’Araby dan mengutuk kepada Ibnu ’Araby, sebab ternyata yang dikira pisang goreng yang sudah siap disantap tersebut adalah merupakan bahan mentah seperti masih jadi tepung, pisang dan alat penggoreng yang tidak bisa dimakan begitu itu.
Kalau pun dimakan tidak enak rasanya, (maka ucapan orang tasawuf yang merupakan Isyaroh jangan kau telan begitu saja), begitu juga ucapan-ucapan yang dikeluarkan orang ahli tasawuf, jangan langsung disantap, tapi kita harus juga mengikuti perbuatan mereka dalam memproses pisang goreng tersebut sampai pisang goreng itu jadi dan siap untuk disantap, barulah kita akan merasakan pisang goreng yang mereka produksi.
Jadi jangan mengira ilmu tasawuf itu sebagai klenik, padahal kita wajib belajar ilmu tiga ini yaitu : ilmu fiqih, ilmu tauhid, dan ilmu sufy.
Jadi jangan mengira ilmu tasawuf itu sebagai klenik, padahal kita wajib belajar ilmu tiga ini yaitu : ilmu fiqih, ilmu tauhid, dan ilmu sufy.
Kalau sudah pagam hal ini kau juga harus memahami ucapan-ucapan ahli tasawuf, ikutlah perbuatan mereka, pelajarilah ilmu-ilmu mereka dan kerjakanlah seluk beluk toriqoh mereka, seperti membersihkan diri lahir batin dari perbuatan tercela, mensucikan hati, benci terhadap dunia, tidak bersifat matrealis, tawaduk, rendah hati, cinta kepada sesama makluk Alloh, mengalahkan kepentingan diri sendiri untuk kepentingan orang lain cinta terhadap Alloh dan sebagainya. Nah bila sifat-sifat semacam itu sudah menjadi hiasan bagi diri kita barulah akan mampu memahami setiap kalimat yang diucapkan ahli sufi.
Janganlah mengatakan sesuatu atas dasar kebodohan terhadap sesuatu yang kita katakan tersebut, karena kita mungkin saja mengatakan sesuatu tidak benar karena kita tidak memahami yang bakal kita katakan/kita salahkan tersebut dan jangan mengukur ilmu tadi (ilmu Ibnu ’Aroby) disamakan dengan ilmu kita, sebab mungkin kita baru duduk disekolah dasar sedangkan Ibnu ’Aroby sudah duduk ditingkat mahasiswa, jelas otak kita ini tidak mampu mencerna pendapat-pendapat orang yang sudah di universitas.
Oleh karena itu bila kita hanya berpegang pada suatu ilmu maka mudah sekali menyatakan salah terhadap orang lain atau satu ajaran yang dibawanya karena kita belum memahami ilmunya orang lain, jadi haqiqotnya bukan orang lain yang salah, tapi kita sendiri yang belum mampu mencerna ilmu yang dimiliki orang lain. Untuk mencapai kesempurnaan ilmu, pelajarilah gabungan dari ilmu ketiga itu. Seperti ilmu tauhid, ilmu fiqih dan ilmu tasawuf.
Jika salah satu dari ilmu ditinggalkan, membawa kearah terpecah. Bukankah dalam Islam kita diperbolehkan sekedar mempelajari ilmu sihir, ini hanya sekedar untuk mengetahui ilmu tersebut, tapi dilarang untuk mengamalkannya, oleh sebab itu saya menyatakan di dalam Islam tidak ada pertentangan dan pertentangan itu ada di dalam kamus orang yang bodoh, tidak pada orang yang jernih fikirannya.
Jadi apabila ketiga ilmu tersebut dipisahkan akan membuat manusia tidak akan sempurna, sebab dengan belajar ilmu tauhid kita bisa mengenal Alloh, dan mempelajari ilmu fiqhi kita bisa mengetahui bagaimana cara-cara beribadah kepada Alloh, dan dengan belajar ilmu tasawuf kita akan mendapat pelajaran bagaimana agar dapat ihlas dalam melaksanakan amal ibadah, dengan demikian barulah kita akan mendapat mencapai ke suatu tingkat hamba Alloh dan barulah kita akan dapat mencapai derajat ”insan kaamil”.
Dengan demikian jelaslah bahwa ketiga ilmu tersebut merupakan mata rantai yang saling menguatkan satu dengan yang lainnya dan tidak dapat dipisahkan, maka bilamana dipisahkan akan membawa kehancuran dan perpecahan baik bagi diri kita sendiri maupun bagi orang lain.
Jadi untuk mencapai kesempurnaan yang kita harapkan kita harus mengintegrasikan bagian-bagian dari gabungan ketiga ilmu tersebut. Suatu misal, sama halnya seperti orang yang memisahkan antara air, kopi, dan gula, maka jika integrasi dari tiga unsur itu ditinggalkan salah satu unsurnya, maka kita tidak akan bisa merasakan atau menikmati kopi yang sedap, kalau tidak ada gula kopi pahit namanya, maka rasanya tentu tidak enak, seperti halnya diberi gula, bila hanya kopi dengan gula sedangkan airnya tidak ada juga tidak bisa dinikmati.
Air kita umpamakan ilmu tauhid, dan juga pokok dari segala-galanya suatu perbuatan tanpa didasari suatu keimanan tauhid tidak akan menghasilkan apa-apa. Contoh lagi rumah tanpa tiang tidak akan bisa berdiri, sedangkan kopi kita ibaratkan fiqhi dan dinding, dan gula bisa kita ibaratkan tasawuf penyedap dari semua unsur yang telah disebut tadi dan merupakan atap bagi rumah, kalau rumah tanpa atap bukan rumah namanya.
Dengan mengintegrasikan ketiga unsur tersebut barulah sempurna menjadi kopi yang sedap dan rumah yang baik, dan agama yang Islamy, maka air ibaratnya ilmu tauhid, kopi ibaratnya ilmu fiqhi gula ibaratnya ilmu tasawuf, jadi apabila ada orang yang menentang ilmu tasawuf, hanya karena orang tersebut belum mengenal atau bodoh sama sekali dengan hakikatnya tasawuf, karena mereka menilah hanya semata-mata menggunakan akal, sedang tasawuf lebih banyak menggunakan rasa (dzauq) sebab jika hanya dengan akal, akal tidak akan sanggup menjangkau mencapai semua itu.
Alloh tidak akan bisa dijangkau dengan akal semata karena dia suatu yang goib dan tidak dapat dilihat dengan panca indra, sedangkan akal hanya dapat mencerna yang jelas yang nampak-nampak saja yang mampu dijangkau oleh panca indra dibalik itu semua akal tidak sanggup memproses dan akal tidak akan berfungsi.
TAMAT
Dan dirujuk pula dengan Catatan Al Mursyid Al Ustadz Muhammad Asyhadi Bin Abu Bakar Al Jawi di Zawiyah Fathal Muntadzhar Al Jawi, tanpa tajuk tahun penulisan.
Dinukil pula dari Kanz Al Fath Al Muntadzar fii At-Thariqah Asy-Syadziliyyah catatan Datuk Haji Maulana Fa'Iman bin Datuk Maulana Abdullah Iman bin Syaikh Maulana Ali Asy-Syadzily Pulau Sembilan, tanpa tajuk tahun penulisan.
Semoga bermanfaat bagi Shahibul Halaqah Maulana Al Daly sekalian, terima-kasih.
@ Ismu Al Daly
Tidak ada komentar:
Posting Komentar